Kenapa Kakao Disebut ‘Makanan Dewa’!

kakao

Di balik setiap batang cokelat yang meleleh di lidah, tersimpan sejarah panjang yang berasal dari biji kecil penuh rasa bernama kakao. Bukan hanya membawa rasa dunia namun juga buah ini memegang hati seluruh dunia. Sebutan ini bukan sekadar kata manis untuk promosi, melainkan berakar dari peradaban kuno yang memuliakan kakao sebagai hadiah surgawi. Lalu, apa yang membuat kakao begitu istimewa hingga disebut sebagai makanan para dewa?

Baca juga:

Kakao pertama kali dibudidayakan oleh suku maya dan aztec mesoamerika. Bagi mereka, kakao bukan sekadar bahan makanan. Ia adalah simbol kekuatan, kesuburan, dan hubungan spiritual dengan para dewa. Biji kakao bahkan digunakan sebagai alat tukar dan persembahan dalam upacara keagamaan. Saking berharganya, hanya para bangsawan, pendeta, dan pejuang terpilih yang boleh menikmati minuman kakao yang pahit dan kental itu jauh dari versi manis yang kita kenal hari ini.

Dalam bahasa Latin, nama ilmiah tanaman ini adalah Theobroma cacao, yang secara harfiah berarti “makanan para dewa”. Theo berarti dewa, dan broma berarti makanan. Nama ini diberikan oleh ilmuwan Swedia Carl Linnaeus pada abad ke-18, setelah ia mempelajari nilai gizi dan budaya di balik biji kecil tersebut. Dari namanya saja, kita sudah bisa merasakan betapa tinggi penghargaan terhadap kakao, bahkan dari sudut pandang ilmiah.

Tapi tidak hanya sejarah dan simbolisme yang membuat kakao begitu diagungkan. Kakao memang luar biasa dari sisi kandungan alaminya. Di dalam biji kakao terkandung lebih dari 300 senyawa kimia yang bermanfaat bagi tubuh, termasuk flavonoid, magnesium, zat besi, dan theobromine—senyawa alami yang memberi rasa bahagia dan meningkatkan energi. Tak heran jika setelah menikmati cokelat, banyak orang merasa lebih tenang, lebih fokus, atau bahkan lebih bahagia. Ini bukan sugesti, tapi kerja nyata dari senyawa dalam kakao yang memengaruhi hormon dan sistem saraf.

Buah nya sediri memang sangat bagus untuk melindungi jantung dan mengurangi tekanan darah. Bahkan, sejumlah studi modern menunjukkan bahwa konsumsi kakao murni secara rutin bisa membantu meningkatkan fungsi otak, memperbaiki suasana hati, hingga menurunkan risiko penyakit degeneratif. Dengan semua khasiat ini, menyebut kakao sebagai ‘makanan dewa’ rasanya bukan lagi berlebihan, melainkan masuk akal.

Namun, seiring waktu, kakao telah melewati banyak transformasi. Ia tidak lagi hanya disajikan dalam ritual, tetapi telah menjadi bagian dari budaya global. Dari praline di Belgia, mousse di Prancis, hingga secangkir cokelat panas di warung kaki lima, kakao hadir dalam berbagai bentuk yang bisa dinikmati semua kalangan. Sayangnya, dalam proses industrialisasi, banyak produk kakao yang dicampur dengan gula, lemak, dan bahan tambahan lain, sehingga manfaat alaminya kerap terkubur oleh kenikmatan semu.

Untuk menikmati kakao dalam bentuk terbaiknya, kita perlu kembali ke versi yang lebih murni: kakao hitam tanpa tambahan gula, bubuk kakao organik, atau dark chocolate dengan kadar kakao tinggi. Semakin sedikit campuran, semakin besar manfaat yang bisa dirasakan. Di situlah letak keajaiban kakao ia tidak butuh banyak hiasan untuk menjadi luar biasa.

Menyebut kakao sebagai makanan dewa bukanlah mitos romantis belaka, tetapi cerminan dari nilai, rasa, dan kekuatan yang telah diakui sejak zaman dahulu. Dalam setiap biji kecilnya, kakao membawa warisan budaya, kekayaan nutrisi, dan kekuatan penyembuhan yang masih relevan hingga hari ini. Maka, saat kamu menikmati sepotong cokelat pekat atau seteguk minuman kakao hangat, ingatlah: kamu sedang merayakan warisan para dewa yang jatuh ke bumi dalam wujud yang paling manis.

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama