Sekilas, kubis brussel terlihat seperti kubis yang belum sempat tumbuh besar. Bulat, hijau, dan muat digenggam satu tangan. Bahkan kadang lebih kecil dari bola pingpong. Tapi jangan tertipu ukurannya. Di balik penampilan mungilnya, kubis brussel menyimpan kejutan yang tidak main-main terutama untuk tubuh yang sedang diajak berdamai dengan kesehatan.
Baca juga:
- Makanan Merah Ini Diam-Diam Lindungi Tubuhmu dari Penyakit Berbahaya!
- Cara Menikmati Asparagus Agar Tidak Pahit!
- Buah Favorit Para Raja & Ratu di Zaman Kuno
Sayuran ini bukanlah tamu baru dalam dunia kuliner. Ia sudah lama hadir di meja makan Eropa, terutama saat musim dingin tiba. Di Amerika dan Inggris, kubis brussel menjadi ikon wajib saat makan malam Natal, sering kali dipanggang dengan mentega dan sedikit lada hitam. Tapi popularitasnya meluas, bukan karena tradisi semata, melainkan karena ia perlahan membuktikan diri sebagai bahan makanan yang bukan hanya cantik, tapi juga cerdas.
Bayangkan saja: dalam satu cangkir kubis brussel matang, kamu akan menemukan lebih banyak vitamin C daripada jeruk. Lalu ada juga vitamin K, serat, antioksidan, dan senyawa pelawan kanker yang hanya dimiliki oleh keluarga sayur cruciferous sejenis geng sayuran hebat yang juga dihuni oleh brokoli dan kale. Rasanya seperti ada laboratorium alami tersembunyi dalam setiap lapisannya.
Tapi mari jujur: kubis brussel punya reputasi yang rumit. Beberapa orang langsung jatuh cinta. Tapi sebagian lagi, terutama mereka yang pertama kali mencicipinya dalam kondisi terlalu matang, langsung mengerutkan kening. Rasa pahitnya kadang datang tiba-tiba, seperti tamu yang tidak diundang. Ia bukan sayur yang bisa kamu rebus lalu langsung dimakan begitu saja. Ia butuh perhatian. Sedikit sentuhan. Dan, seperti teman yang keras kepala, ia baru akan menunjukkan sisi terbaiknya kalau dipahami lebih dulu.
Salah satu cara paling elegan untuk mengenalkan kubis brussel pada lidah yang belum akrab adalah dengan memanggangnya. Saat dipanggang, tepiannya jadi renyah, aromanya manis, dan rasa pahitnya nyaris menghilang. Tambahkan sedikit minyak zaitun, taburkan garam laut, mungkin sesendok kecil madu atau cuka balsamic dan yang kamu dapatkan adalah sayur kecil dengan rasa yang luar biasa kompleks, gurih, manis, hangat, dan sedikit karamel.
Kubis brussel juga fleksibel. Ia bisa masuk ke dalam salad hangat, jadi pendamping daging panggang, atau bahkan digoreng sebentar untuk tekstur renyah di nasi goreng ala Barat. Bahkan di dapur-dapur modern, ia mulai digunakan sebagai topping pizza vegan, isian sandwich, atau bahkan digiling halus menjadi "kubis crumble" yang tak kalah seru dari daging cincang.
Walau dia kecil tapi kemauan dia besar! Ia bukan sayur penurut yang bisa kamu ajak kompromi seenaknya. Ia menantang, dan justru karena itu, ia menyenangkan untuk dijinakkan. Kalau kamu berhasil memasaknya dengan benar, ia akan menjadi bintang di antara sayuran lain kecil, tapi penuh rasa, dan sulit dilupakan.
Kubis brussel tidak berusaha menjadi tren. Ia tidak butuh filter Instagram atau hashtag superfood untuk membuktikan nilainya. Ia hanya ada, tumbuh, dan menunggu untuk dijadikan bagian dari meja makan yang lebih sehat. Jadi kalau kamu bertanya apakah sayuran sekecil itu layak diperhitungkan, jawabannya sederhana: jangan nilai sesuatu dari ukurannya.
Posting Komentar