Kenapa Matcha Rasanya Pahit tapi Bikin Ketagihan?

matcha

Banyak orang yang menjadikan matcha untuk pengganti kopi, menambahkannya sebagai gaya hidup mereka. Namun, ada satu hal yang sering menjadi bahan perbincangan, rasa matcha yang pahit. Meski begitu, anehnya, rasa pahit itu justru membuat banyak orang ketagihan. Apa rahasianya?

Baca juga:

Matcha adalah daun hijau, ia memiliki cara panen yang berbeda dibanding daun lainya, di beberapa minggu sebelum panen tumbuhan ini akan di tutup dengan kain. Proses ini memperlambat pertumbuhan daun dan meningkatkan kadar klorofil, membuat warna daun menjadi hijau pekat dan kaya nutrisi. Setelah dipetik, daun muda tersebut dikukus sebentar untuk menghentikan oksidasi, dikeringkan, lalu digiling halus menjadi bubuk matcha yang lembut seperti bedak. Sedangkan rasa pahitnya terdapat pada zat antioksidan yang tingi. Selain katekin, matcha mengandung teanin, asam amino yang memberi rasa umami dan sedikit manis, sehingga menyeimbangkan rasa pahitnya. Perpaduan ini menciptakan profil rasa kompleks yang membuat lidah tertantang namun tetap ingin menikmatinya lagi.

Ketika diminum, matcha memberikan sensasi rasa yang berbeda dari teh biasa. Awalnya, pahitnya langsung terasa di ujung lidah, diikuti kelembutan rasa umami dan sedikit manis alami di akhir tegukan. Sensasi ini memicu reaksi unik pada otak. Teanin yang terkandung di dalamnya membantu tubuh merasa tenang, sementara kafein memberi dorongan energi yang stabil tanpa membuat jantung berdebar seperti kopi. Kombinasi efek menenangkan dan menyegarkan inilah yang membuat orang ingin menikmatinya berulang kali.

Selain soal rasa, daya tarik matcha juga terletak pada manfaat kesehatannya. Kandungan serat, vitamin C, vitamin A, dan mineral seperti potasium turut menjadikannya minuman yang bukan hanya lezat, tetapi juga menyehatkan. Tidak heran jika matcha sering dijuluki sebagai “superfood hijau” oleh para pecinta hidup sehat. Di Jepang, filosofi menikmati matcha sangat berbeda dengan tren cepat saji. Dalam tradisi chanoyu atau upacara minum teh, matcha diseduh dengan penuh perhatian, dari cara menuangkan air panas, mengocoknya dengan whisk bambu (chasen), hingga menyeruputnya perlahan. Setiap tegukan bukan sekadar soal rasa, tapi juga tentang menghargai momen. Bagi sebagian orang, proses ini menciptakan ikatan emosional dengan matcha, menjadikannya lebih dari sekadar minuman.

Ketagihan matcha juga ada bahasa ilmiahnya. Rasa pahit sering diasosiasikan dengan kematangan selera. Sama seperti kopi hitam, dark chocolate, atau wine, matcha membutuhkan waktu untuk “dipelajari” oleh lidah. Semakin sering kita menikmatinya, semakin kita bisa menemukan lapisan rasa di balik pahitnya. 

Menariknya, tingkat pahit matcha bisa berbeda-beda tergantung kualitasnya. Matcha premium (ceremonial grade) cenderung memiliki rasa lebih halus, dengan pahit yang tipis dan umami yang dominan. Sementara matcha culinary grade, yang biasa digunakan untuk campuran makanan dan minuman, umumnya memiliki rasa lebih kuat dan pahit karena diproses dari daun yang sedikit lebih tua. Inilah sebabnya, matcha latte atau es krim matcha sering terasa lebih ramah di lidah karena dicampur susu atau gula yang melembutkan rasa pahitnya.

Pada akhirnya, rasa pahit matcha adalah bagian dari pesonanya. Pahit itu bukan tanda kekurangan, melainkan bukti kekayaan nutrisi dan karakter alami yang dimilikinya. Justru di situlah letak ketagihannya rasa yang kompleks, manfaat yang nyata, dan pengalaman yang unik di setiap tegukan. 

Jadi, jika Anda masih ragu mencoba matcha karena takut pahit, mungkin saatnya memberi kesempatan pada lidah untuk berkenalan lebih dekat. Siapa tahu, dari satu tegukan yang awalnya membuat kening berkerut, Anda justru menemukan camilan dan minuman favorit baru yang akan menemani hari-hari Anda.

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama